Sen. Jul 21st, 2025
Generasi Z Mudah Tersinggung, Fenomena atau Realita?

Akhir-akhir ini kita sering mendengar komentar seperti “Anak zaman sekarang gampang baper,” atau “Dikit-dikit tersinggung, langsung cancel.” Kalimat-kalimat ini seolah sudah jadi makanan sehari-hari di media sosial. Tapi, benarkah Generasi Z mudah tersinggung? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu semua?

Cancel Culture di Indonesia dan Dampaknya

Cancel Culture di Indonesia dan Dampaknya

Salah satu fenomena yang tak bisa Generasi Z lepaskan adalah cancel culture di Indonesia. Ketika seseorang mereka anggap melakukan kesalahan baik sengaja maupun tidak responnya bisa sangat cepat. Komentar pedas berdatangan, postingan lama diungkit kembali, hingga akhirnya publik “meng-cancel” orang tersebut.

Cancel culture ini sebenarnya lahir dari keinginan untuk menciptakan keadilan sosial. Generasi muda ingin menegakkan nilai-nilai seperti anti-diskriminasi, kesetaraan gender, hingga toleransi. Tapi dalam praktiknya, tidak semua proses “canceling” berlangsung adil. Terkadang, orang sudah dihukum oleh opini publik sebelum diberikan ruang klarifikasi.

Di sinilah kita melihat sisi rumitnya. Di satu sisi, Generasi Z ingin menciptakan ruang yang aman dan adil. Tapi di sisi lain, cara mereka menegakkan itu kadang malah berujung pada pembungkaman. Ini menunjukkan bahwa proses belajar masih berlangsung. Mereka mencoba memahami batas antara kritik dan pembatalan, antara menyuarakan pendapat dan menyerang.

Sensitivitas Generasi Muda

Banyak orang bilang bahwa sensitivitas generasi muda membuat mereka lemah mental. Tapi sebenarnya, sensitivitas itu bisa jadi kekuatan jika dikelola dengan tepat. Generasi Z sangat peka terhadap isu sosial, lingkungan, hingga kesehatan mental. Mereka tidak segan mengangkat topik yang dulu mereka anggap tabu. Ini membuktikan bahwa mereka punya empati tinggi dan keberanian untuk bicara.

Masalah muncul ketika sensitivitas itu berubah jadi mudah tersinggung. Ketika semua komentar dianggap menyerang, atau saat kritik dianggap sebagai bentuk kebencian. Kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia nyata tidak selalu ramah. Di situ, kemampuan untuk memilah mana yang kritik membangun dan mana yang sekadar nyinyir sangat penting.

Generasi muda perlu belajar bahwa tidak semua ketidaknyamanan berarti serangan. Kadang, rasa tidak nyaman justru datang karena kita sedang belajar dan tumbuh. Kalau semua hal diambil hati, perkembangan pribadi dan sosial bisa terhambat.

Generasi Z dan Kebebasan Berpendapat

Salah satu hal yang sangat familiar oleh Generasi Z adalah kebebasan berpendapat. Mereka tumbuh dalam budaya digital yang memungkinkan siapa pun berbicara. Tapi di sinilah tantangannya. Ketika semua orang bebas berpendapat, maka akan ada banyak pendapat yang tidak kita sukai. Apakah kita akan langsung tersinggung dan memutuskan untuk membatalkan seseorang?

Dalam demokrasi, kebebasan berbicara itu penting. Tapi kebebasan itu juga datang dengan tanggung jawab. Tidak semua yang kita pikirkan harus dilontarkan tanpa mempertimbangkan dampaknya. Begitu juga, tidak semua pendapat yang menyakitkan harus dibalas dengan kemarahan. Kadang, perlu ruang untuk berdiskusi dan memahami perspektif orang lain.

Generasi Z perlu menyadari bahwa membuka ruang diskusi jauh lebih bermanfaat daripada menyerang balik. Kadang, seseorang yang berbeda pandangan bisa memberikan wawasan baru yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Fenomena Generasi Baper

Istilah “fenomena generasi baper” memang sedang populer. Banyak yang menyebut Generasi Z terlalu sensitif dan gampang tersinggung. Tapi mari kita lihat lebih dalam. Generasi ini hidup dalam tekanan sosial yang tinggi. Mereka tumbuh dengan standar ekspektasi yang sangat tinggi, baik dari keluarga, lingkungan, maupun media sosial.

Wajar jika mereka lebih peka. Tapi tentu saja, ada batas yang perlu kamu pahami. Perasaan memang valid, tapi reaksi harus bijak. Baper boleh, tapi jangan langsung menyerang. Tersinggung sah-sah saja, tapi mari kita belajar mengelola rasa itu agar tak selalu berakhir konflik.

Kita semua pernah merasa tidak nyaman dengan komentar orang lain. Tapi bedanya, apakah kita memilih belajar dari situ, atau memilih untuk marah dan menutup diri?

Penutup

Mengatakan Generasi Z mudah tersinggung mungkin terlalu menyederhanakan persoalan. Di balik itu, ada proses adaptasi dan pencarian jati diri yang sedang berlangsung. Mereka bukan hanya generasi yang peka, tapi juga generasi yang sedang membangun nilai-nilai baru di tengah dunia yang berubah cepat.

Sebagai sesama warga digital, kita bisa memilih untuk saling memahami daripada saling menghakimi. Kita bisa saling mendukung agar dunia maya jadi ruang yang sehat untuk tumbuh, berbagi, dan belajar bersama.

Karena pada akhirnya, semua generasi pasti punya tantangannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita memilih untuk menanggapinya: dengan baper berkepanjangan atau diskusi yang membangun.

Baca juga artikel lainnya di sinte.my.id dan sobatkabar.my.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *