Sebuah survei regional baru-baru ini membuka mata kita semua. Anak-anak muda di Indonesia menilai kondisi politik dan ekonomi di negaranya lebih buruk dibandingkan dengan generasi muda di lima negara ASEAN lainnya. ISEAS-Yusof Ishak Institute merilis data ini lewat riset terhadap 3.081 mahasiswa berusia 18–24 tahun dari enam negara: Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Sementara generasi muda dari negara lain cukup percaya diri melihat masa depan, anak-anak muda Indonesia justru menunjukkan gejala kehilangan harapan. Mereka merasa politik tidak lagi berpihak, ekonomi sulit mereka jangkau, dan kebijakan pemerintah tak menyentuh kebutuhan riil anak muda saat ini.
Pertanyaannya, kenapa bisa sampai seburuk itu? Mari kita telusuri satu per satu penyebabnya.
Politik yang Jauh dari Harapan Generasi Muda

Menurut hasil survei, sebanyak 53,9% mahasiswa Indonesia menilai kondisi politik di Indonesia buruk. Ini jadi angka tertinggi dibanding lima negara ASEAN lain. Bahkan, jika dibandingkan dengan Vietnam dan Singapura, perbedaannya cukup mencolok. Anak muda di sana lebih dari 70% merasa puas dengan situasi politik negaranya.
Apa yang bikin anak muda Indonesia kecewa? Salah satunya adalah munculnya kembali praktik dinasti politik, makin terbatasnya ruang demokrasi, dan absennya perwakilan suara muda dalam pengambilan kebijakan. Banyak yang merasa aspirasi rakyat sering diabaikan, bahkan dijadikan komoditas politik menjelang pemilu.
Menurut Aisah Putri Budiarti, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),
“Anak muda biasanya penuh optimisme karena mereka baru memasuki usia produktif. Ini menjadi peringatan tentunya, kalau cita-cita pemerintah mau Indonesia Emas, yang memegang kan mereka. Ketika mereka pesimistis, itu punya risiko berbahaya.”
Banyak anak muda kecewa karena mereka melihat politik saat ini lebih fokus mengejar kekuasaan daripada memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Mereka juga merasa tak ada perubahan nyata dalam hidup, meski para politisi sering melontarkan janji kampanye. Akhirnya, banyak yang memilih menjauh dari urusan politik karena merasa tidak relevan dengan realitas hidup mereka.
Ekonomi yang Mencekik, Pekerjaan yang Sulit Ditembus

Kalau urusan politik bikin kecewa, soal ekonomi lebih bikin sesak dada. Sebanyak 33,1% responden Indonesia merasa sangat pesimis terhadap arah ekonomi pemerintah. Ini kembali menjadi angka tertinggi di antara negara-negara ASEAN lainnya. Di sisi lain, anak muda dari Malaysia, Vietnam, dan Filipina justru lebih percaya pada perkembangan ekonomi mereka.
Masalah yang paling banyak disebut adalah pengangguran dan ancaman resesi. Data dari BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa hampir 10 juta Gen Z Indonesia (usia 15–24 tahun) sedang menganggur atau tidak memiliki kegiatan tetap. Bahkan, 369 ribu di antaranya sudah benar-benar putus asa cari kerja.
Tak berhenti di situ. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 80.000 kasus PHK sepanjang tahun lalu. Ini menunjukkan dunia kerja makin sempit, terutama buat anak muda yang masih merintis. Gaji yang minim, biaya hidup yang naik, dan ketimpangan ekonomi yang makin terlihat bikin situasi makin sulit.
Hendri Saparini, ekonom dari CORE Indonesia, menjelaskan:
“Persepsi ini muncul karena apa yang mereka hadapi memang seperti itu. Kalau dilihat data, PHK pada tahun lalu masif, dan banyak anak muda kesulitan mencari pekerjaan.”
Ia juga menambahkan bahwa deindustrialisasi prematur dan lemahnya pemerataan ekonomi memperburuk kondisi generasi muda yang tidak semuanya berpendidikan tinggi.
Mereka Kritis, Bukan Apatis
Tapi jangan salah, pesimisme ini bukan berarti mereka cuek. Justru sebaliknya. Survei juga menunjukkan bahwa lebih dari 90% anak muda Indonesia peduli pada isu korupsi dan lemahnya penegakan hukum. Artinya, mereka masih punya kepedulian tinggi terhadap masa depan bangsa.
Menurut Aisah dari BRIN, ini harus dipandang sebagai kesadaran kritis, bukan sikap acuh:
“Harapannya mereka bisa lebih kritis dan bisa menjadi penyeimbang supaya pemerintah bisa terpacu untuk mengevaluasi kinerjanya.”
Generasi muda hari ini bukan cuma ingin perubahan, tapi juga siap jadi bagian dari perubahan itu. Mereka peka terhadap kebijakan, kritis terhadap kekuasaan, dan sadar akan pentingnya suara mereka. Mereka butuh ruang untuk menyampaikan gagasan, dan pemerintah perlu melibatkan mereka secara nyata dalam proses kebijakan.
Kesimpulan
Survei ini bukan sekadar data, tapi cerminan suara generasi muda Indonesia hari ini. Mereka kecewa, tapi belum sepenuhnya menyerah. Pemerintah dan para pemimpin perlu membuka telinga, karena masa depan negara ini ada di tangan mereka yang hari ini merasa tak punya tempat bicara.
Jika pemerintah membiarkan kondisi ini terus terjadi, pesimisme anak muda bisa berkembang menjadi apatisme. Namun jika mereka mendengarkan dan merespons dengan serius, justru ini bisa menjadi titik balik besar. Anak muda Indonesia membawa potensi, menyuarakan semangat, dan terus bergerak. Mereka hanya membutuhkan ruang untuk didengar dan diakui. Kini saatnya pemerintah tidak lagi sekadar membuat kebijakan untuk mereka, tapi merancangnya bersama mereka.