Akhir-akhir ini, banyak orang mulai membicarakan soal penurunan rata-rata IQ di Indonesia. Beberapa laporan juga menunjukkan bahwa peringkat IQ Indonesia kalah dibandingkan banyak negara lain. Kalau dulu kita masih bisa bangga karena ada di tengah-tengah, sekarang posisinya makin turun. Pertanyaannya kenapa bisa begitu?
Sebenarnya, IQ bukan satu-satunya tolak ukur kecerdasan, tapi tetap jadi salah satu indikator penting. Negara dengan rata-rata IQ tinggi biasanya punya kualitas pendidikan yang baik, pola asuh anak yang sehat, dan kebiasaan berpikir kritis sejak dini. Kalau sekarang kita malah merosot, berarti ada yang salah dari sistem atau kebiasaan kita sehari-hari.
Coba kita lihat lingkungan sekitar. Anak-anak sekarang lebih akrab sama gadget daripada buku. Scroll TikTok atau main game bisa berjam-jam, tapi baca satu artikel aja udah ngeluh pusing. Bukan salah teknologinya, tapi cara kita memakainya yang bikin potensi otak nggak berkembang maksimal. Apalagi kalau waktu belajar tergeser sama hiburan nonstop. Otak jadi kurang tantangan, kurang latihan.
baca juga artikel lainnya di sobatkabar
Pendidikan atau Pola Hidup?

Pendidikan kita masih jadi PR besar. Meski sudah banyak sekolah yang berbenah, tapi sistemnya kadang terlalu fokus ke hafalan dan nilai. Padahal kemampuan berpikir kritis, analisis, dan pemecahan masalah justru yang bikin otak lebih terasah. Sayangnya, masih banyak siswa yang hanya belajar biar lulus ujian, bukan biar paham.
Belum lagi soal gizi. Kecerdasan juga dipengaruhi dari makanan yang dikonsumsi sejak kecil. Kalau anak-anak kekurangan nutrisi, ya perkembangan otaknya juga nggak maksimal. Indonesia masih punya masalah gizi buruk di banyak daerah, dan ini berdampak langsung ke kualitas generasi muda. Asupan otak yang kurang bergizi jelas bikin daya pikir jadi lambat berkembang.
Lalu ada juga faktor pola tidur. Banyak remaja yang tidur larut karena kebanyakan begadang depan layar. Otak yang kurang istirahat nggak bisa bekerja optimal. Jadi, meski diajarin hal hebat pun, otaknya bisa nggak mampu nerima dengan baik. Istirahat yang cukup itu penting, tapi sekarang justru jadi barang langka.
Siapa yang Bisa Diperbaiki?

Semua pihak punya peran. Orang tua harus lebih sadar pentingnya mendampingi anak belajar, bukan cuma nyuruh doang. Sekolah juga harus mulai mengubah pendekatan, dari sekadar hafalan jadi belajar yang lebih aplikatif. Dan yang nggak kalah penting, pemerintah harus serius benahi kurikulum dan memperluas akses gizi dan pendidikan merata.
Media sosial juga perlu kita kontrol. Bukan berarti kita harus melarangnya, tapi kita perlu mengarahkan isi konten yang dikonsumsi anak muda. Banyak akun yang mencoba mengedukasi, tapi konten drama dan prank masih lebih menarik perhatian. Masalah ini bukan soal larangan, tapi soal kebiasaan. Kalau sejak kecil anak-anak terbiasa menonton konten yang berkualitas, mereka juga akan terbiasa berpikir secara kritis. Semakin sering kita mengajak otak berpikir, semakin tajam kemampuan berpikir kita.
Terakhir, anak muda juga perlu diajak untuk lebih kenal sama potensinya. Banyak yang pinter sebenarnya, tapi nggak tahu cara ngembangin diri karena lingkungannya kurang mendukung. Lingkungan yang kurang suportif bisa bikin mereka nggak percaya diri. Kalau kita semua saling dorong, kualitas generasi muda bisa naik lagi, dan peringkat IQ bukan jadi masalah besar lagi.
Harus Khawatir Nggak, Sih?
Jadi, apakah kita harus khawatir? Ya, tentu saja. Tapi bukan buat panik, melainkan buat bertindak. Kita masih punya waktu buat membenahi semuanya, dari sistem pendidikan sampai kebiasaan di rumah. Penurunan IQ ini bukan akhir dunia, tapi sinyal bahaya kalau kita terus cuek.
Setiap generasi harusnya lebih baik dari sebelumnya. Tapi kalau sekarang malah turun, artinya ada rantai yang putus dan harus disambung lagi. Kita nggak bisa nyalahin anak muda terus. Lingkungan tempat mereka tumbuh itu yang membentuk mereka. Kalau lingkungannya nggak mendukung, jangan heran kalau hasilnya juga jauh dari harapan.
IQ memang bukan segalanya, tapi kalau terus menurun dan kita biarkan begitu saja, hal itu bisa memicu penurunan kualitas bangsa. Yuk, kita mulai bareng-bareng memperbaiki hal-hal yang masih bisa kita ubah. Soalnya, masa depan bukan sesuatu yang datang sendiri kita yang harus bentuk dari sekarang. Nggak perlu jadi pintar dulu buat mulai, yang penting, kita sadar dulu kalau ini memang masalah nyata.
Baca artikel lainya di sinte